Jakarta, Setahun berlalu setelah jatuhnya Boeing 737 Max 8 Lion Air di Perairan Karawang, para keluarga korban penerbangan dengan kode JT610 itu mungkin sudah mulai menata hati. Kehilangan orang tercinta tak bisa dilupakan, walau dalam dalam jangka waktu dekat ada kepastian pembayaran uang duka dari Boeing sebesar US$ 50 juta.
Operasi kemanusian mencari dan mengangkat jenazah korban Lion Air itu juga meninggalkan luka yang dalam bagi keluarga Syachrul Anto, penyelam yang tak disangka menjadi korban tewas. Anto, meninggalkan seorang istri dan anak perempuan yang masih bersekolah.
Saya berada di saat-saat terakhir Anto menghembuskan nafas terakhir di atas kapal, ketika grup penyelam Basarnas bahu-membahu mengangkatnya dari permukaan air dan memberikan pertolongan pertama. Memompa jantungnya agar berdenyut, mengantarkan udara ke paru-parunya yang terendam air.
Teriakan-teriakan membakar semangat tim penolong sahut menyahut dengan iringan doa dalam bahasa arab yang kami hapal. Kami masih berharap ada keajaiban, kesucian zat Allah SWT meniupan nyawa Anto.
Mata dan hati saya terluka, menyaksikan kawan seperjuangan di bawah air, perlahan-lahan tubuhnya kehilangan panas badan dan dingin untuk selama-lamanya. Ada kekosongan jiwa yang terasa. Langit gelap mengantarkan jiwa Anto ke haribaan-Nya.
Foto-foto bersama mendiang Anto di atas kapal Basarnas terbuka kembali. Hari itu, saya ingat pagi itu sekitar jam 8 dia banyak senyum, minta berfoto bersama karena beberapa hari pertama operasi SAR kami tak sempat selfie. Saya dan Anto tergabung dalam Indonesian Divers Rescue Team (IDRT), yang selalu diikutkan dalam operasi penyelamatan di bawah air.
Tak ada firasat buruk, kami membersihkan alat scuba diving dan mempersiapkan semuanya untuk penyelaman hari itu. Panggilan menyelam jam 10 pagi, dengan kode penyelam Alfa. Yakni tim inti penyelam, turun di tengah gelombang laut yang mulai besar, jarak pandang terbatas pada kedalaman 40 meter.
Kami berdiskusi, akan ketemu apakah hari ini? Serpihan-serpihan kertas, pakaian atau jenazah korban? Tak ada yang tahu. Kami siap menemukan yang terburuk, mengambil sisa jenazah yang tak utuh. Anto berpesan, tahan-tahan hati saja bila mengambil jenazah. Mungkin ada rasa takut dan khawatir terkontaminasi bakteri, tapi itu hal wajar. “Berdoa aja bang tata, kita kan tujuannya kemanusiaan,” pesan Anto.
Panggilan tim Alfa untuk terjun ke bawah air, akhirnya datang ketika jam menunjukkan sekitar pukul 16.00 WIB.
Ombak mulai tinggi dan jarak pandang di bawah air makin pendek. Lampu-lampu senter bawah air kami nyalakan dari permukaan mencari lokasi yang sudah diberi tanda. Hamparan reruntuhan pesawat Boeing 737 Max 8 itu tampak nyata, tersebar luas menjadi serpihan-serpihan kecil. Benda paling besar yang saya pegang adalah roda pesawat yang tertancap di pasir. Logam dan tubuh manusia semuanya berwarna putih, sulit dibedakan.
Terhempas
Saya bersama pasangan menyelam Syatiri dari klub pecinta alam TRAMP, langsung mengumpulkan sisa-sisa jenazah. Begitu juga dengan Aji, Ibeng dan mendiang Anto. Mereka berada si sisi kanan saya, dan kemudian menghilang karena buruknya jarak pandang di bawah air. Saya masih mengingat gelembung udara yang dari regulator Anto berhembus, ia menarik segumpal sisa jenazah dan memasukkannya ke kantung hitam. Begitu dan begitu terus, hingga kantung hitam itu kelihatan penuh.
Anto berdedikasi bekerja dalam operasi kemanusian itu tanpa lelah, dan juga tanpa memikirkan keluarganya. Saya ingat, dia meninggalkan waktu liburanya di Yogyakarta dengan istrinya Lyan Kurniawati dan anak semata wayangnya Jihan Alisya Ammar dan bergabung ke operasi SAR ini.
Senin (30/9/2019) kemarin saya mendapat khabar dari Engki Bocana, salah satu ahli waris keluarga korban JT 610 yang mengabarkan, pihaknya atas nama keluarga JT 610 datang ke Yogyakarta dan memberikan santunan untuk keluarga korban.
“Besarnya santunan tidak seberapa dan masih terus kami kumpulkan, kami ingat perjuangan almarhum Anto ketika menyelam,” kata Engki Bocana.
Nama Syachrul akan diabadikan bersama nama-nama korban JT610 dalam tulisan di tugu peringatan yang akan dibangun di Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat. “Itu ucapan terima kasih kami pada Bang Anto, “ kata Engki Bocana.
Setelah kepergian Anto sang tulang punggung keluarga, kehidupan keluarganya ikut terhempas. Bisnisnya dalam bidang angkutan darat di Makassar, Sulsel, terbengkalai. Istrinya Lyan Kurniawati tidak bekerja dan sekarang menanggung beban kedua orang tuanya yang sakit-sakitan, terbaring di ranjang. Anaknya, Jihan setelah lulus dari kuliah masih berjuang mencari kerja.
Saya membayangkan betapa beratnya beban hidup yang dipikul keluarga Anto, tak sebanding dengan perjuangan Anto mengorbankan nyawa demi orang lain. Kehidupan keluarga yang ditinggalkanya kocar-kacir, tak ada lagi tulang punggung yang mampu menjaga keluarga itu aman dan sejahtera memasuki sisa-sisa umurnya di dunia.
Presiden Direktur Lion Air Group Edward Sirait yang mendengar kisah keluarga Anto, ikut terenyuh. Sebagai maskapai yang berorientasi kepada pelayanan konsumen dan jasa, Lion Air tidak tinggal diam dengan para pahlawan tanpa tanda jasa yang membantunya tanpa pamrih.
“Saya akan bantu bro, saya akan siapkan lapangan pekerjaan di Lion Air yang dapat membantu meringatkan beban keluarga almarhum. Sampaikan salam hangat kami,” janji Edward Sirait.
Ucapan Edward Sirait itu terasa seperti angin pantai semilir, membawa harapan.
Goyangan ombak masih terasa di atas kapal Basarnas, mencipratkan buih-buih air laut ke atas kapal. Tak terasa air mata ikut tumpah mengenang kejadian setahun berlalu Operasi Kemanusian Lion Air JT 610. (tata)